Dampak teknologi daging laboratorium asal Israel terhadap perternakan tradisional dan trend makanan konsumsi global (2020)
Dunia
terus berubah dari hari ke hari.
Termasuk
terhadap perubahan pola bagaimana manusia menyantap, mengkomsumsi dan mengelola
makanan.
Pada
zaman nenek moyang. Orang belum mengenal permen. Namun pada tahun 1848 sejak John Curtis mendidihkan damar cemara ke
dalam panci. John menciptakan sebuah resep ‘permen karet’.
Sekarang
permen dijajankan di berbagai macam toko.
Begitu
pula terhadap es krim.
Di
Indonesia. Es krim pertama kali diperkenalkan oleh penjajah bangsa Belanda.
Es
krim bernama Ice Cream Saloon
merupakan makanan mewah nan mahal untuk orang orang Belanda ketika itu.
Sebelum
tahun 1945. Orang orang Indonesia belum mengenal apa itu es krim dan bagaimana
cara membuat. Sekarang, semua orang Indonesia dapat membeli es krim di
Indomaret dan Alfamart.
Trend makanan konsumsi global pada era peningkatan populasi
Permintaan
konsumsi makanan seperti dari produk tanaman, biji bijian, sayur, ikan, daging,
buah, dll terus meningkat seiring kenaikan jumlah populasi manusia dimana pada
tahun 2025 ada sekitar 8.100.000.000 miliar orang harus diberikan makanan.
Padahal
ukuran bumi terbatas.
Sebanyak
33% luas daratan ngga dapat ditanami karena kering, tandus dan gersang.
40%
wilayah daratan bumi memiliki lahan subur yang telah diolah dan ditanami.
Sisanya
berupa kawasan industri, perumahan, real estate, infrastruktur milik
pemerintah, hutan lindung, kantor, jalan raya dan tanah kosong yang belum
digarap oleh pemiliknya.
Perubahan iklim,
pemanasan global warming dan kelangkaan air menciptakan tantangan dalam hal
membudidayakan tanaman dan hewan ternak.
Disisi
lain, bisnis pertanian, perikanan dan perternakan kurang menarik bagi kalangan
anak muda karena identik dengan kemiskinan akibat rendahnya keuntungan sehingga
banyak beralih ke sektor jasa dan industri.
Walaupun
begitu. Sektor agrikultur merupakan jantung utama bisnis kehidupan manusia.
Bahkan pandemic Covid-19 Corona tak sanggup menumbang sektor pekerjaan ini.
Jadi
tren makanan apa yang kita makan.
60%
penduduk bumi diketahui merupakan golongan miskin. Terdiri dari 25% miskin
ekstrim dan 35% miskin.
25%
penduduk dunia jarang makan apapun selama 1-2 hari. Dalam artian mereka sering
kelaparan karena tak dapat akses keuangan untuk membeli makanan akibat ketimpangan arus kas kekayaan.
Sedangkan
35% penduduk masih bisa makan. Namun porsi kalori kecil. Kandungan gizi mereka
terdiri dari lemak tinggi, gula tinggi, mie instan, kolestrol tinggi dan karbohidrat
tinggi.
Untuk
mengkomsumsi daging. Mereka menggantikannya dengan tahu dan tempe.
Sedangkan
buah buahan dan sayuran hampir jarang dikonsumsi oleh orang miskin karena tak ada
uang untuk membeli.
Beruntung
negara Indonesia termasuk banyak orang orang dari kalangan menegah dan atas. Sehingga
mereka dapat membeli banyak makanan akibat dompet tebal.
Pihak
kurang beruntung atau kemiskinan ekstrim sebesar 11% dari total penduduk
Indonesia.
Untuk
menutup kesenjangan sosial antara kemiskinan dan kekayaan. Terdapat pola
perbedaan konsumsi makanan karena persaingan dalam merebutkan sumber daya
pangan berupa daging, ikan, sayur, buah, air, dll.
Alternatif
makanan seperti serangga berprotein tinggi dapat menggantikan daging ikan,
sapi, ayam, domba, kambing, babi, dll yang kian hari harganya mencekik buat
orang orang kurang beruntung yang dimana isi rekening bank mereka sering
tersisa Rp 10.000 perak.
Faktanya,
negara seperti Thailand, China, Brazil, Meksiko, negara negara Africa, termasuk
Indonesia sudah lazim mengkomsumsi serangga. Seperti belalang, ulat, jangkrik, kecoak, maggot lalat, dll.
Orang
Papua sudah lazim makan ulat.
Orang
Jogjakarta sudah lazim makan belalang.
Permasalahannya
tak semua orang mau makan makanan tersebut. Karena merasa jijik.
Makan belalang goreng, masih bisa ditoleransi bagi banyak orang. Namun makan kecoak, ulat, jangkrik, dll dipastikan banyak orang merasa menjijikkan.
Alternatif
lain untuk menambah zat protein dengan harga murah meriah yaitu melalui cara mengkomsumsi
daging ikan sapu sapu, tikus, cacing, kekelawar, hewan liar, dan ular.
Faktanya
itu makanan murah meriah namun mengerikan bagi orang lain. Kecuali bagi masyarakat Timur.
Seharusnya,
perternakan serangga, cacing, ulat maggot, jangkrik, kecoak, alga, dll.
Bukan
untuk dikonsumsi oleh manusia. Melainkan bagi hewan ternak saja. Kecuali bagi
pihak yang pengen melakukan uji nyali FEAR FACTOR dengan mencicipi makanan
ekstrim tersebut.
Kesimpulannya
yaitu pola trend makanan tetap sama hingga 20 tahun kedepan.
Orang
orang tetap makan sapi, kambing, ikan,
ayam, kalkun, domba, babi, sayur,
buah, dll.
Hanya
saja bagi kalangan 60% masyarakat dunia. Porsi untuk kandungan protein bergizi tersebut
menjadi mengecil, dipotong potong menjadi bagian kecil (sedikit).
Mereka
makan gula, karbohidrat dan lemak gorengan menjadi lebih banyak. Tetapi protein, vitamin dan mineral bergizi rendah.
Disisi lain, hadirnya teknologi daging berkelanjutan yang dibudidayakan di sebuah mesin bakalan menjadi sebuah trend pada masa depan berikutnya.
Dampak teknologi daging laboratorium terhadap perternakan
tradisional
Youtube : Teknologi Israel daging laboratorium
Kecepatan
kelahiran penduduk manusia bertambah lebih banyak dari hari ke hari.
Setiap
1 hari saja ada 180.000 ribu bocah
lahir.
Bagaimanakah
langkah para petani dan perternak mengimbangi kecepatan ini.
Artinya
membutuhkan produksi pangan hampir dua kali lipat dari laju kelahiran untuk
mengimbangi.
Jika terlambat diimbangi maka harga daging, sayur, buah buahan dan
protein bernilai tinggi bakalan makin mahal tak terjangkau lagi untuk kalangan
60% masyarakat miskin ekstrim dan miskin di dunia.
Hampir tak mungkin apabila pertanian, perikanan dan perternakan secara tradisional mampu untuk memenuhi permintaan pangan yang terus menerus melonjak.
Dibutuhkan sebuah terobosan mutakhir.
Pertanyaan
selanjutnya yaitu apa dampak teknologi daging hasil laboratorim tersebut. Seperti
dari perusahaan Israel. yaitu Future Meat, Meatech, Aleph Farms, Supermeat,
dll.
Youtube : Teknologi Israel daging laboratorium
Lalu
bagaimanakah nasib perternakan jika daging dapat diciptakan menggunakan mesin bioreactor
melalui jaringan kultur sel.
Pertanyaan
bagi kaum perternak adalah :
Apakah
perternakan tradisional akan mati karena kalah melawan teknologi asal Israel.
Teknologi
ini tentu takkan mematikan perternakan tradisional. Justru membantu peternakan
dalam hal pemasaran dengan adil.
Karena
daging yang diciptakan menggunakan bioreactor lebih mahal dibandingkan dengan
daging tradisional. Teknologi buatan Israel tersebut didesain untuk mengimbangi
skala, memenuhi pasokan agar tak selalu kosong, mencegah monopoli, dan menciptakan
pola pikir produktivitas baru untuk mencegah ketidakadilan permainan harga daging
di pasaran agar dapat dinikmati oleh kalangan bawah dan atas.
Permasalahan
daging saat ini yaitu stock sering kosong dan inflasi tinggi.
Misalnya
harga daging ayam broiler seharusnya Rp 25.000 kg.
Namun
karena permintaan tinggi beberapa pedagang mencurangi dengan menaikkan harga
menjadi Rp 44.000 ribu / kg sehingga menyebabkan inflasi besar besaran.
Stock
daging segar seperti sapi, kambing dan domba sering kosong habis di pasar.
Jikapun
ada berupa bentuk daging beku dengan harga 2x lebih mahal sehingga takkan
terjangkau untuk kalangan miskin.
Disinilah
teknologi biorektor menjadi kunci dalam mengatasi problem permasalahan ini demi
menciptakan keseimbangan pasar dan ketersediaan stock daging untuk tahun 2025 demi memenuhi 8.100.000.000 miliar perut manusia terhadap konsumsi daging.
Baca juga :
Youtube : Teknologi Israel daging laboratorium
Terima
kasih. Semoga bermanfaat ya. GBU